Rabu, 10 Oktober 2012

BIAYA EDUKASI & TERAPI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS “STAR GEMILANG”



BIAYA EDUKASI & TERAPI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
“STAR GEMILANG”

INFORMASI BIAYA EDUKASI DAN TERAPI

Selayang Pandang
Star Gemilang “Edukasi dan Terapi Center ABK”  merupakan salah satu tempat terapi ABK ( Anak Berkebutuhan Khusus) di kota Ungaran. Berdiri pada tahun 2008 dengan mengunakan 7 jenis terapi yang di padukan sesuai dengan kondisi anak membuat tampak kemajuan pada anak relative cepat.




Waktu Terapi Ke rumah

12 Pertemuan Senin, Rabu, Jumat 
12 Pertemuan Selasa,Kamis,Jumat 
24 Pertemuan Senin - Sabtu


Keterangan :
1. Biaya Pendaftaran Rp.50.000,- + Biaya Alat dan Media Terapi Rp. 200.000
2. 1 x pertemuan = 1 Jam ( per 1 jam Rp. 25.00-100.000/jam, sesuai kondisi anak )
3. Pagi hari pukul 08.00 sampai dengan pukul 11.
00
4. Siang hari pukul 13.00 sampai dengan pukul 17.00
5. Pembayaran biaya bulanan di haruskan tepat waktu sesuai tanggal masuk terapi, dengan waktu tenggang 5 hari. Lewat dari waktu tenggang anak dinyatakan tidak mengikuti terapi lagi.


Untuk info lebih lengkap mengenai terapi khusus
ABK hubungi:
Edukasi dan Terapi ABK
Rubiyarto, S.Pd
Tlp.0856
2668773

Selasa, 09 Oktober 2012

Selamat Datang di Web Blog Star Gemilang.



Selamat Datang di website Star Gemilang “Edukasi dan Terapi ABK”.
Kami hadir untuk memenuhi kebutuhan Anda akan les privat yang berkualitas.
Area layanan kami meliputi Ungaran, Ambarawa, dan Sekitarnya.
Adalah suatu kebanggaan bagi kami bila dapat melayani Anda!
Semoga layanan yang kami berikan dapat memberikan manfaat bagi Anda.
.
Jika Anda merasakan manfaat dari layanan kami,
silakan informasikan pada rekan dan saudara Anda.
Jika ada saran/kritik, silakan hubungi kami.
Terima kasih atas kunjungannya.
Star Gemilang “ Edukasi dan Terapi ABK”  Memberi informasi – solusi – edukadi. Bangga Melayani Anda!
Star Gemilang merupakan Lembaga Edukadi dan Terapi yang didirikan sejak tahun 2008  alumni IKIP Yogyakarta (sekarang UNY) yang peduli pada peningkatan mutu pendidikan di Indonesia. Dengan layanan privat yang lengkap & jangkauan yang luas, semoga dapat menjadi alternatif solusi bagi Anda.
Metode belajar diberikan secara personal/privat sehingga perkembangan siswa dapat selalu dipantau. Dengan teori dan mengerjakan berbagai soal latihan diharapkan dapat meningkatkan pemahaman siswa pada pelajaran terkait.
Dengan pengajar muda yang berkualitas yang berasal dari Disiplin ilmu yang sesuai dengan kondisi Anak Berkebutuhan Khusus. Pengajar kami adalah Sarjana Pendidikan Luar Biasa (S1), keilmuannya dapat dipertanggungjawabkan.  Kami berupaya sebaik mungkin untuk membantu peningkatan pemahaman siswa pada pelajaran yang terkait.
Alasan memilih Star Gemilang diantaranya:
  • Bimbingan diberikan secara PERSONAL/PRIVAT sehingga perkembangan siswa dapat selalu DIPANTAU
  • Dibimbing oleh tenaga pengajar dari S1 yang berkompeten dan BERKUALITAS
  • Pembelajaran DI KANTOR/RUMAH ANDA sehingga proses belajar menjadi lebih NYAMAN
  • Guru privat yang PROFESIONAL, BERSAHABAT dan RAMAH
  • TIDAK STRESS akibat macet di jalan
  • Tidak perlu BIAYA TRANSPORTASI
  • Waktu belajar yang FLEKSIBEL
  • Biaya les yang SANGAT TERJANGKAU
  • EFEKTIF, PRAKTIS dan EKONOMIS

Jumat, 05 Oktober 2012

Perlukah Mengajarkan Calistung di Usia Dini?

Kompas.com - Tak sedikit orangtua yang bangga dengan kemampuan balitanya dalam membaca, menulis dan berhitung (calistung). Mereka yakin anak yang diajarkan kemampuan calistung sejak dini lebih pintar dari anak seusianya.

Di tambah lagi, kini semakin banyak sekolah dasar yang mensyaratkan calon siswanya punya kemampuan calistung, kendati hal itu sebenarnya dilarang. Karena khawatir anaknya tidak bisa masuk ke SD favorit, para orangtua pun berlomba-lomba mengajari anaknya calistung, antara lain dengan memilih playgroup atau TK yang menjamin balita mahir calistung sebagai persiapan masuk SD.
Apabila minat membaca dan menulis anak sudah muncul sejak dini mungkin proses mengajarkan calistung pada anak menjadi lebih mudah dan menyenangkan. Namun faktanya kebanyakan anak baru benar-benar siap belajar membaca dan menulis di atas usia 5 tahun.

Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini Nonformal dan Informal, Kemdikbud, Lydia Freyani Hawadi, seperti dikutip Kompas (12/1/12) pernah mengingatkan bahwa jenjang PAUD seharusnya tidak membebani anak dengan kemampuan calistung. Siswa baru boleh diajar calistung di SD.

Metode pendekatan di PAUD, kata Lydia, tidak didasarkan pada aspek kognitif, tetapi pada aspek motorik. Karena perkembangan anak usia 0-5 tahun masih terfokus pada aspek motorik, seharusnya metode pembelajarannya lebih menekankan pengembangan soft skill dengan cara bermain.

Lagipula, masa balita adalah masanya bermain dan bermain. Memaksakan anak melakukan sesuatu yang sebenarnya ia belum siap justru akan memberikan pengalaman yang tidak menyenangkan, bahkan akhirnya muncul penolakan.

"Banyak orangtua yang memilih PAUD bukan yang berdampak bagus bagi perkembangan buah hatinya, tapi PAUD yang hasilnya dapat membanggakan orangtua. Yang terjadi, anak pun menjadi stres di usia dini," kata Paulin Sudwikatmono, principal KindyROO, sebuah sekolah bagi anak usia dini.

Ia menambahkan, karena terlalu fokus untuk diajarkan calistung pada usia yang sangat dini, anak-anak tidak berkembang secara alami sebagaimana mestinya karena di masa yang instan ini anak-anak dipacu untuk belajar dan tidak diberikan kesempatan untuk membangun fondasi yang kuat dan berkembang secara alami.

"Sebagai contoh, banyak orang tua yang merasa bahwa anak-anak tidak perlu merangkak lama dan memburu-burukan anak untuk berjalan. Atau juga anak tidak perlu distimulasi motorik halusnya seperti menstimulasi keterampilan tangan dan langsung mengajar anak untuk bisa menulis," katanya.

Akibatnya, ada anak yang sudah berumur 6 tahun tetapi anak tersebut tidak dapat menulis dengan baik atau tidak dapat menulis dalam jangka waktu yang lama karena tangan cepat letih.

Kemampuan merangkak pada anak sebenarnya juga memberikan stimulasi yang banyak terhadap anak tersebut, seperti menstimulasi konsentrasi, mata, koordinasi dan kekuatan otot tubuh. Tetapi karena diburu-buru untuk berjalan cepat dengan cara dititah atau menggunakan alat bantu berjalan (walker), anak-anak tersebut kehilangan kesempatan untuk distimulasi secara benar.

"Orang tua juga berpandangan bahwa anak-anak tidak perlu bermain lama. Jika anak terstimulasi dengan baik dan benar pada saat usia dini dan diberikan kesempatan untuk bermain, anak tersebut tidak akan menemui hambatan dalam belajar di kemudian hari dan anak tersebut distimulasi untuk menjadi lebih kreatif," paparnya.

Bermain yang terarah merupakan fondasi yang penting untuk menunjang kesempurnaan dalam kemampuan belajar di kemudian hari.

"Di KindyROO, kami memberikan arahan dan pengalaman kepada orang tua bagaimana cara menstimulasi anak dengan cara yang baik dan benar untuk menghindari kesulitan belajar di kemudian hari pada saaat mereka masuk usia sekolah," ujar Paulin.

Dengan pengalaman lebih dari 30 tahun, KindyROO mendidik orang tua dan anak agar setiap fase pekembangan dalam anak harus dilalui dan dikuasai. Anak tidak dipaksa secara instant untuk melakukan hal-hal yang tidak cocok untuk usianya.

Anak-anak juga harus diberikan waktu untuk berkembang secara alami dan diberikan waktu yang banyak untuk bermain secara terarah. Yang paling penting adalah anak-anak diberikan fondasi yang kuat dan otak distimulasi secara maksimal agar anak-anak siap menghadapi tantangan pada saat sekolah nanti. (Advetorial)
 

Rabu, 03 Oktober 2012

PROFIL TERAPIS

 =========================================================================

Nama                : Rubiyarto, S.Pd
TTL                  : Sleman, 3 Pebruari 1979
Alumni             : UNY (Universitas Negeri Yogyakarta), FIP PLB
Alamat Rumah : PURI BABADAN ASRI RT 4 RW 4 A.19 BEJI UNGARAN TIMUR 50551
HP                    : 08562668773 / 08884136500

==========================================================================


Selasa, 02 Oktober 2012

Home-schooling-sebagai-model-pendidikan-alternatif-bagi-masyarakat

Pendidikan adalah hak setiap manusia yang hidup di dunia ini. Pendidikan disamping sebagai proses transfer pengetahuan, juga berfungsi sebagai sarana transformasi dan regenerasi kehidupan sosial. Setiap Negara maupun propinsi memiliki sistem pendidikan yang berbeda-beda, bahkan di daerah maupun komunitas tertinggal yang tidak mempunyai lembaga pendidikan formal pun memiliki sistem pendidikan tersendiri sebagai proses transformasi pengetahuan dan kebudayaan. Setiap anak manusia dilahirkan di dalam suatu habitus kebudayaan dalam masyarakat lokalnya. Masyarakat lokal berdasarkan tradisi mempunyai mekanisme di dalam mendidik calon anggotanya (Tilaar, 2005: 113). Sistem pendidikan tersebut menjadi ciri khas dari model pendidikan yang diterapkan pada suatu daerah.
Undang-undang Dasar 1945 memberikan amanat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, dan untuk mencapainya pemerintah Indonesia menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional. Di Indonesia, kita mengenal ada dua sistem pendidikan, yaitu sistem pendidikan sentralistik, yang diterjemahkan dalam kurikulum pendidikan nasional, dan sistem pendidikan desentralistik sebagai wujud dari otonomi pendidikan. Sistem pendidikan nasional berfungsi untuk membuat standar umum sebagai ukuran keberhasilan pendidikan dalam skala nasional. Sistem pendidikan lokal berfungsi untuk mewadahi kebutuhan-kebutuhan daerah yang tidak tercakup dalam kurikulum nasional, yang kemudian disebut dengan kurikulum muatan lokal atau mulok. Mulok berisi materi-materi pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan pasar suatu daerah, mencakup pengembangan intelektualitas, life skills dan kreativitas yang disesuaikan dengan kearifan lokal dan norma yang berlaku di daerah tersebut.
Dewasa ini, perkembangan pendidikan di Indonesia mengalami kemajuan yang pesat, setidaknya dalam hal kuantitas. Hal ini ditandai dengan semakin besarnya APBN yang dialokasikan oleh pemerintah dalam bidang pendidikan. Anggaran pemerintah dalam bidang pendidikan pada tahun 2012 meningkat sebesar 20,2 % total anggaran yang dikeluarkan pemerintah pada era-era sebelumnya yang hanya 8%. Besarnya anggaran tersebut dapat dirasakan oleh masyarakat dengan bermunculannya sekolah gratis untuk SD dan SMP sebagai penerapan wajib belajar 9 tahun, beasiswa pendidikan, meningkatnya gaji guru dan dosen, sertifikasi guru dan dosen, dan semisalnya. Kita patut memberi apresiasi terhadap segala usaha pemerintah untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas pendidikan anak bangsa, meskipun pada praktiknya memang masih banyak masyarakat yang belum tersentuh oleh anggaran pendidikan yang ditetapkan pemerintah tersebut, terutama masyarakat pedesaan yang secara geografis berada di tempat terpencil.
Data Komisi Nasional Perlindungan Anak (KNPA) bulan Agustus 2011 menyatakan bahwa 11,7 juta anak Indonesia belum tersentuh pendidikan. Anak-anak tersebut mayoritas berada di daerah-daerah pelosok termasuk komunitas adat terpencil (Sirait, 2011). Masalah umum yang terjadi di daerah-daerah tersebut adalah minimnya fasilitas-fasilitas sekolah dan kurangnya guru yang bertugas di daerah-daerah tersebut, dikarenakan letak geografis yang terpencil dan sarana transportasi yang sangat minim.  Hal itu pula yang menyebabkan program-program Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tidak berhasil dilaksanakan. Selain komunitas adat terpencil, daerah-daerah miskin pedesaan dan kampung-kampung masyarakat pinggiran di perkotaan juga kurang mendapat akses pendidikan yang merata.
Kondisi tersebut setidaknya memberikan dua dampak dalam dunia pendidikan. Pertama, angka putus sekolah (drop out)yang setiap tahun bertambah. Kedua, angka kenaikan penduduk yang buta huruf semakin meningkat. Tidak dapat dipungkiri bahwa sekolah-sekolah Negeri (SDN, MIN, SMPN dan MTsN) hanya terdapat di daerah-daerah perkotaan. Jarang sekali sekolah pemerintah yang dibangun di pelosok pedesaan, apalagi di desa-desa terpencil. Hampir mayoritas sekolah di desa terpencil adalah atas swadaya masyarakat (sekolah swasta). Padahal, UUD 1945 mengamanatkan bahwa setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan dan pengajaran yang layak, disamping juga subsidi pendidikan. Manajemen sekolah yang tidak tersistem dengan baik, ditambah dengan kondisi sarana dan prasarana sekolah yang kurang memadai serta minimnya guru negeri yang mengabdikan diri, menyebabkan masyarakat daerah terpencil semakin tertinggal dalam dunia pendidikan. Maka, dibutuhkan solusi alternatif untuk meningkatkan kualitas pendidikan masyarakat terpencil agar mampu bersaing secara akademis dan praktis dengan anggota masyarakat lain.
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang diadakan tahun 1989, telah mendeklarasikan hak-hak anak, dan ditegaskan bahwa semua anak berhak memperoleh pendidikan tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun. Deklarasi tersebut dilanjutkan dengan The Salamanca Statement and Framework for Action on Special Needs Education yang memberikan kewajiban bagi sekolah untuk mengakomodasi semua anak termasuk anak-anak yang memiliki kelainan fisik, intelektual, sosial, emosional, linguistik maupun kelainan lainnya. Sekolah-sekolah juga harus memberikan layanan pendidikan untuk anak-anak yang berkelainan maupun yang berbakat, anak-anak jalanan, pekerja anak, anak-anak dari masyarakat terpencil atau berpindah-pindah tempat, anak-anak dari suku-suku yang berbahasa, etnik atau budaya minoritas dan anak-anak yang rawan termarjinalkan lainnya.
Setidaknya terdapat beberapa alternatif solusi yang ditawarkan oleh pemerintah. Pertama, membentuk pendidikan luar sekolah. Kedua, mengajak keluarga untuk berpartisipasi dalam dunia pendidikan melalui model homeschooling. Dua alternatif tersebut telah mendapat persetujuan pemerintah lewat UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pendidikan luar sekolah dan homeschooling merupakan salah satu upaya pemerintah dalam menerapkan pendidikan layanan khusus seperti yang diamanatkan dalam Undang-undang pendidikan. Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi. Masyarakat diberi hak oleh pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal, sesuai dengan ke khasan agama, lingkungan sosial, dan budaya, untuk kepentingan masyarakat. Tujuan dari pendidikan layanan khusus ini salah satunya adalah melayani kebutuhan pendidikan pada masyarakat adat terpencil. Hal ini sejalan dengan program pemerintah dalam pemerataan pendidikan. Selain itu memberdayakan masyarakat, khususnya masyarakat adat terpencil dalam upaya pengentasan kemiskinan yang disebabkan oleh berbagai hal.
Secara lebih rinci, Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 5, ayat 1 s.d. 4 telah menegaskan bahwa:
1. Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.
2. Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.
3. Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus.
4. Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.
Proses pembelajaran keluarga home schooling dapat memanfaatkan fasilitas yang ada di dunia nyata, seperti fasilitas pendidikan (perpustakaan, museum, lembaga Penelitian), fasilitas umum (taman, stasiun, jalan raya), fasilitas sosial (taman, panti asuhan, rumah sakit), maupun fasilitas bisnis (mall, pameran, restoran, pabrik, sawah, perkebunan). Selain itu, keluarga homeschooling dapat menggunakan guru privat, tutor, mendaftarkan anak pada kursus atau klub hobi (komik, film, fotografi), dan sebagainya. Internet dan teknologi audio visual yang semakin berkembang juga merupakan sarana belajar yang biasa digunakan oleh keluarga homeschooling (Sumardiono, 2007).
Mulyadi (2007) menambahkan bahwa homeschooling akan membelajarkan anak-anak dengan berbagai situasi, kondisi, dan lingkungan sosial yang terus berkembang. Orangtua seharusnya memusatkan perhatian pada anak-anak, selama mereka terjaga dan beraktivitas, kedekatan orangtua dengan anak-anaknya dapat dijadikan cara belajar yang efektif dan dapat dikaitkan dengan pengalaman-pengalaman yang menyenangkan yang diperoleh dari fasilitas yang ada di dunia nyata.
Pada hakekatnya, baik home schooling maupun sekolah umum, sama-sama sebagai sebuah sarana untuk menghantarkan anak-anak mencapai tujuan pendidikan seperti yang diharapkan. Akan tetapi, home schooling dan sekolah juga memiliki beberapa perbedaan. Pada sistem sekolah, tanggung jawab pendidikan anak didelegasikan orang tua kepada guru dan pengelola sekolah. Pada home schooling, tanggung jawab pendidikan anak sepenuhnya berada di tangan orang tua. Sistem di sekolah terstandardisasi untuk memenuhi kebutuhan anak secara umum, sementara sistem pada home schooling disesuaikan dengan kebutuhan anak dan kondisi keluarga. Pada sekolah, jadwal belajar telah ditentukan dan seragam untuk seluruh siswa. Pada home schooling jadwal belajar fleksibel, tergantung pada kesepakatan antara anak dan orang tua. Pengelolaan di sekolah terpusat, seperti pengaturan dan penentuan kurikulum dan materi ajar. Pengelolaan pada home schooling terdesentralisasi pada keinginan keluarga home schooling. Kurikulum dan materi ajar dipilih dan ditentukan oleh orang tua (Simbolon, 2007).
Berbagai latar belakang tersebut memberikan motivasi kepada penulis untuk melakukan penelitian guna menemukan format pendidikan yang sesuai dan tepat bagi masyarakat terpencil, dengan harapan memberikan sumbangsih pemikiran dalam dunia pendidikan di Sulawesi Tengah.
Dalam Penelitian ini, penulis berusaha meneliti sebuah desa terpencil Suku Laujeh yang terletak di pegunungan Sojol Desa Bogalo Kecamatan Palasa Kabupaten Parigi Moutong Sulawesi Tengah. Masyarakat Suku Laujeh di pegunungan Sojol merupakan masyarakat terpencil yang jauh dari perkotaan maupun desa-desa sebelahnya. Untuk mencapai desa terdekat, diperlukan waktu satu hari perjalanan kaki. Hal ini dikarenakan tidak adanya sarana transportasi yang mampu masuk ke daerah tersebut selain berjalan kaki. Sarana komunikasi juga sangat minim, yang menyebabkan penduduk desa menjadi terisolir dari perkembangan zaman. Sarana pendidikan dan kesehatan juga sangat tidak memadai. Di desa tersebut belum ada sekolah dan puskesmas yang dapat memberikan layanan pendidikan dan kesehatan pada masyarakat. Sampai saat Penelitian ini dilaksanakan, belum ada seorang guru pun yang bertugas atau ditugaskan Negara untuk memberikan pendidikan di daerah tersebut, hanya sebagian pastor pada beberapa dekade lalu yang sempat datang ke desa tersebut dan mengajarkan baca tulis.
RUMUSAN DAN BATASAN MASALAH
Dalam Penelitian ini, Peneliti mengacu pada rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana penerapan pendidikan model home schooling pada masyarakat terpencil Suku Laujeh di pegunungan Sojol Desa Bogalo Kecamatan Palasa Kabupaten Parigi Moutong?
2. Apa faktor-faktor pendukung dan penghambat penerapan pendidikan model homes chooling pada masyarakat terpencil Suku Laujeh di pegunungan Sojol Desa Bogalo Kecamatan Palasa Kabupaten Parigi Moutong?
Dalam penelitian ini, Peneliti perlu membatasi lingkup pembahasannya, sehingga tidak keluar dari pokok masalah yang akan diteliti. Adapun batasan masalah penelitian ini sebagai berikut:
1. Home schooling sebagai sarana transfer pengetahuan dan skills dari orang tua kepada anak.
2. Masyarakat Suku Laujeh sebagai komunitas terpencil yang terisolasi dari kehidupan sekitarnya.
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Menurut Poerwandari (1998) penelitian kualitatif  adalah penelitian yang menghasilkan dan mengolah data yang sifatnya deskriptif, seperti transkripsi wawancara, catatan lapangan, gambar, foto rekaman video dan lain-lain. Sejalan dengan hal ini, Bogdan dan Biklen (1982) mengemukakan bahwa penelitian kualitatif akan menghasilkan data deskriptif dalam bentuk uraian kata-kata tertulis atau lisan, atau data dalam bentuk perilaku yang diamati. Pengamatan tersebut harus dilakukan secara menyeluruh (holistik).
Penelitian kualitatif bertujuan untuk melakukan penafsiran terhadap fenomena sosial. Metodologi penelitian yang dipergunakan adalah multi metodologi, sehingga sebenarnya tidak ada metodologi yang khusus. Para periset kualitatif dapat menggunakan semiotika, narasi, isi, diskursus, arsip, analisis fonemik, bahkan statistik. Di sisi yang lain, para periset kualitatif juga menggunakan pendekatan, metode dan teknik-teknik etnometodologi, fenemologi, hermeneutik, feminisme, rhizomatik, dekonstruksionisme, etnografi, wawancara, psikoanalisis, studi budaya, Penelitian survai, dan pengamatan melibat (participant observation) (Agus Salim, 2006).
Dalam penelitian kualitatif perlu menekankan pada pentingnya kedekatan dengan orang-orang dan situasi penelitian, agar Peneliti memperoleh pemahaman jelas tentang realitas dan kondisi kehidupan nyata.( Patton dalam Poerwandari, 1998)
Subyek Penelitian ini adalah masyarakat terpencil Suku Laujeh yang terletak di pengunungan Sojol Desa Bogalo Kecamatan Palasa Kabupaten Parigi Moutong. Penelitian ini merupakan penelitian populatif, sehingga tidak diperlukan sampel dalam pengumpulan data. Penulis mengambil data dari masyarakat terpencil di pengunungan yang teridentifikasi dengan nama Suku Laujeh sebanyak 124 Kepala keluarga.
Penelitian ini tersusun dalam beberapa bab, yaitu:
Bab I yang berisi latar belakang masalah, rumusaan masalah dan batasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, penegasan judul dan garis-garis besar penelitian yang menguraikan gambaran isi dari penelitian ini.
Bab II yang berisi Konsepsi Pendidikan Home schooling, Langkah-langkah Penerapan Pendidikan Home schooling, dan Bentuk Pendidikan Model Home schooling pada Masyarakat Terpencil.
Bab III merupakan metode penelitian yang menguraikan tentang metodologi yang Peneliti gunakan dalam kegiatan penelitian ini yang mencakup; pendekatan penelitian yang menguraikan tentang penelitian kualitatif, subyek penelitian, tahapan penelitian, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data.
Bab IV adalah hasil penelitian yang menguraikan 3 item penting, yaitu; Gambaran Subyek Penelitian, Penerapan Pendidikan Model Home Schooling pada Masyarakat Terpencil Suku Laujeh Desa Bogalo Kecamatan Palasa Kabupaten Parigi Moutong. Faktor-faktor Pendukung dan Penghambat Penerapan Pendidikan Model home schooling pada Masyarakat Terpencil Suku Laujeh Desa Bogalo Kecamatan Palasa Kabupaten Parigi Moutong.
Bab V merupakan penutup; menguraikan kesimpulan hasil penelitian dan implikasinya terhadap pihak-pihak terkait yang dapat membantu keberhasilan penerapan pendidikan model home schooling pada masyarakat terpencil Suku Laujeh Desa Bogalo Kecamatan Palasa Kabupaten Parigi Moutong.


PEMBAHASAN
Kata penerapan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1986) bermakna pemasangan, pengenaan. Dalam konteks pendidikan, penerapan berarti pelaksanaan suatu model pembelajaran di lembaga pendidikan atau di suatu daerah yang mempunyai kelompok belajar atau peserta didik.
Dalam bahasa Indonesia, terjemahan dari home schooling adalah “sekolah rumah”. Istilah ini dipakai secara resmi oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan  (Kemendikbud) untuk menyebutkan home schooling. Selain sekolah rumah, home schooling terkadang diterjemahkan dengan istilah sekolah mandiri. Home schooling merupakan model pendidikan alternatif selain di sekolah. Pengertian umum home schooling adalah model pendidikan di mana sebuah keluarga memilih untuk bertanggung jawab sendiri atas pendidikan anak-anaknya dan mendidik anaknya dengan menggunakan rumah sebagai basis pendidikannya. Orangtua bertanggung jawab secara aktif atas proses pendidikan anaknya. Bertanggung jawab secara aktif di sini adalah keterlibatan penuh orangtua pada proses penyelenggaraan pendidikan, mulai dalam hal penentuan arah dan tujuan pendidikan, nilai-nilai (values) yang ingin dikembangkan, kecerdasan dan keterampilan yang hendak diraih, kurikulum dan materi pembelajaran hingga metode belajar serta praktik belajar keseharian anak (Sumardiono, 2007).
Didiet Adiputro (2008), home schooling atau sekolah rumah, adalah sebuah aktivitas untuk menyekolahkan anak di rumah secara penuh. Home schooling merupakan sebuah pilihan dan khazanah alternatif pendidikan bagi orang tua dalam meningkatkan mutu pendidikan, mengembangkan nilai iman (agama), dan menginginkan suasana belajar yang lebih menyenangkan.
Ransom (2001) menyatakan bahwa terdapat dua hal penting dalam pendidikan home schooling, yaitu: (1) sebagian besar pelaksana home schooling melakukan aktivitas belajarnya di rumah. Sebagian melaksanakan hampir seluruh kegiatan belajar di rumah, dengan “membeli” kurikulum yang telah terstruktur; (2) dalam melaksanakan home schooling, orangtua dan anak bertanggung jawab terhadap pendidikan dan proses belajar, memutuskan apa yang akan dipelajari, kapan waktu untuk belajar, dan bagaimana cara belajarnya.
Menurut Dhanang Sasongko (2007), Sekretaris Jenderal Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif (Asah Pena), home schooling terdiri dari tiga jenis. Pertama, home schooling tunggal yang dilakukan di rumah. Penggiat utamanya adalah satu keluarga. Kedua, home schooling majemuk terdiri dari dua keluarga. Ketiga, home schooling komunitas yang dibangun dari komunitas masyarakat setempat dengan metode pembelajarannya secara tutorial. Substansi dari homeschooling itu adalah proses kegiatan belajar mengajar yang diselenggarkan di mana pun, kapan pun, dan oleh atau dengan siapa saja.
Daerah terpencil bermakna; suatu tempat yang sudah diami oleh komunitas suatu masyarakat yang berada jauh dari pusat perkotaan. Perhatian dan subsidi pemerataan layanan pendidikan oleh pemerintah juga masih belum merata ke seluruh daerah terpencil, sehingga masyarakat kelas ini harus terisolasi dari berbagai perkembangan zaman yang terjadi dewasaa ini, termasuk kemajuan aspek pendidikan.
Banyak alasan sehingga masyarakat dan orang tua memilih Homeschooling sebagai tempat belajar bagi anak-anak mereka. Secara general, alasan utama orang memilih homeschooling adalah tidak puas dengan model sekolah umum dan ingin memberikan pendidikan yang lebih berkualitas kepada anak mereka. Selain itu, ada yang melakukan homeschooling karena faktor kondisi georafis suatu daerah yang sangat terisolasi dari daerah perkotaan sehingga tidak dapat melaksanakan pendidkan secara formal, sebab segala sumber daya pendidikan sulit diperoleh dan ada pula kerena alasan kondisi khusus yang terjadi pada anak mereka; misalnya autis, anak-fokus, anak berbakat, dan semisalnya.
Homeschooling merupakan suatu pendidikan alternatif yang dapat dilaksanakan dimanapun, terutama masyarakat tertinggal dan desa terpencil. Proses penentuan kurikulum yang dapat diseleksi sendiri orang tua, sebagai guru, memungkinkan pelaksana Homeschooling untuk menyesuaikan dengan need and demand mereka. Namun proses penyeleksian hendaknya berdasarkan pada pengetahuan yang cukup tentang kurikulum dan materi yang berlaku pada sekolah-sekolah yang ada. Dengan kata lain materi homeschooling harus disesuaikan dengan kurikulum yang ada, jika tidak maka homeschooling hanya dianggap sebagai bimbingan belajar atau belajar mandiri.
Pada subyek penelitian di Dusun Hansibong Desa Bobalo Kecamatan Palasa Kabupaten Parigi Moutong terdapat sebuah kondisi proses pembelajaran yang unik. Dari observasi dan wawancara yang dilakukan peneliti, semua anak usia sekolah (usia 7–15 tahun) yang terdapat di dusun tersebut tidak mengenyam pendidikan sekolah. Hal ini disebabkan tidak adanya sarana dan prasarana pendidikan di daerah tersebut. Sebanyak 17 responden (dalam penelitian ini sampel diambil peneliti sebanyak 17 orang) yang menjadi subyek penelitian, mengatakan bahwa terdapat dua alasan sehingga anak-anak mereka yang tidak sekolah. Pertama, tidak adanya sekolah atau lembaga pendidikan baik formal maupun non formal di dusun tersebut. Kedua, jarak sekolah terdekat ditempuh selam 6 jam perjalanan kaki. Sampai saat ini belum ada sarana transportasi yang mampu menjangkau daerah tersebut, perjalanan ke desa sebelah atau ke kantor desa hanya dapat ditempuh dengan berjalan kaki dengan estimasi waktu 6 jam.
Kondisi perekonomian masyarakat Dusun Hansibong dapat dikategorikan dalam masyarakat ekonomi lemah. Mayoritas penduduknya adalah petani dan pencari rotan, dengan ubi-ubian sebagai makanan pokok mereka. Berkebun merupakan pekerjaan sehari-hari penduduk Dusun Hansibong, disamping juga berburu dan mencari rotan. Hasil dari kebun, berburu dan rotan tersebut mereka jual ke pasar yang berjarak 6-7 jam perjalanan kaki. Kondisi perekonomian tersebut tentunya memberikan dampak yang kurang menguntungkan bagi pelaksanaan pendidikan di daerah ini. Sebanyak 10 responden mengatakan bahwa faktor ekonomi menjadi kendala dalam pendidikan, sedangkan 7 responden lainnya menjawab tidak menjadi kendala. Tentunya hal ini menjadi menarik, karena jawaban tersebut mengindikasikan bahwa sebenarnya sebagian masyarakat Hansibong sudah memiliki kesadaran akan pentingnya pendidikan, dan menganggap masalah ekonomi tidak menjadi kendala dalam menempuh pendidikan.
Namun, ketertarikan masyarakat terhadap pendidikan tersebut tidak berbanding lurus dengan upaya pemerintah daerah dalam menyelenggarakan dan memfasilitasi sarana dan prasarana pendidikan di daerah tersebut. Pemerintah juga dinilai tidak memberikan perhatian pada peningkatan sektor pendidikan di Dusun Hansibong. Untuk memenuhi kebutuhan media pendidikan seperti alat-alat tulis, buku-buku pelajaran, dan semisalnya, masyarakat Hansibong  harus berjalan kaki selama 6 jam dan membelinya di pasar.
Secara umum, masyarakat Hansibong dapat dikatakan telah melaksanakan proses pendidikan sekolah rumah. Namun, penerapan sekolah rumah tersebut di dusun tersebut tidak sama dengan penerapan pada daerah-daerah lain di Indonesia. Penerapan homeschooling pada dusun Hansibong secara deskriptif tidak tersusun secara rapi. Peneliti tidak menemukan, dalam observasi dan wawancara, sebuah bentuk jadwal maupun model evaluasi yang sistematis, begitu juga dengan penggunaan metode dan media belajar yang relevan.
Walaupun demikian, terdapat beberapa faktor pendukung penerapan homeschooling di Dusun Hansibong Desa  Bobalo antara lain; semangat orangtua dan anak untuk belajar yang tinggi, ketertarikan pada nuansa baru yang belum pernah mereka saksikan, dan keberadaan setiap keluarga yang terbiasa mengajarkan pengetahuan dan kecakapan hidup pada anak mereka sesuai dengan kondisi alam tempat mereka menjalani kehidupan sehari-hari.
Disamping kelebihan tersebut terdapat sejumlah hambagtan dalam pelaksanaan pendidikan model homeschooling di daerah ini. Peneliti berkeyakinan bahwa ketidaklancaran pelaksanaan homeschooling pada masyarakat dusun Hansibong dikarenakan beberapa hal, yaitu:
1. Keterbatasan Literatur.
Keterbatasan literatur, dalam kasus ini dapat dibilang tidak ada literature, merupakan faktor penghambat paling dominan dalam pelaksanaan sebuah proses pendidikan. Pengayaan informasi tidak akan dapat dilaksanakan oleh para guru. Literatur tidak hanya diperlukan oleh guru sebagai bahan pengaya informasi dalam dunia pendidikan, tetapi juga sebagai standardisasi materi pelajaran pada materi-materi ajar tertentu, agar memenuhi standar yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Homeschooling memang tidak mensyaratkan model kurikulum dan materi tertentu dalam pelaksanaannya, namun jika homeschooler memiliki keinginan untuk melanjutkan studi ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, maka dia harus mempersiapkan meteri-materi pelajaran yang dibutuhkan.
Pada beberapa kasus penerapan homeschooling di beberapa daerah di Jakarta maupun beberapa kota lainnya, homeschooler diuntungkan dengan adanya media internet sebagai tempat pencarian literatur untuk berbagai materi ajar. Mereka juga diuntungkan dengan keberadaan perpustakaan umum, toko buku, komunitas homeschooling lainnya dan para ahli pendidikan yang siap berbagi/sharing pengetahuan. Fenomena seperti ini tidak dapat ditemui di dusun Hansibong. Perpustakaan umum, toko buku, ahli pendidikan dan hal-hal yang berhubungan dengan literatur tidak terdapat di dusun Hansibong, bahkan di radius 6-7 jam perjalanan kaki juga masih belum dapat ditemukan. Keterbatasan literatur inilah yang menyebabkan praktik homeschooling di dusun Hansibong tidak mengalami perkembangan yang signifikan dalam hal materi ajar. Mereka hanya mengajarkan ketrampilan-ketrampilan dasar sebagai upaya meneruskan tradisi keluarga.
2. Keterbatasan alat tulis dan media pembelajaran
Alat-alat tulis merupakan sarana yang signifikan dalam dunia pendidikan. Alat tulis berfungsi sebagai media penyimpanan dan perekaman pengetahuan yang diterima oleh siswa. Alat tulis juga berfungsi sebagai alat evaluasi dan monitoring bagi orang tua, disamping sebagai media pembelajaran pada saat dilaksanakan proses pengajaran. Teknik portofolio dan jurnal merupakan dua alat evaluasi yang digunakan dalam homeschooling dengan menggunakan alat tulis. Portofolio dan jurnal memungkinkan orang tua mengetahui perkembangan pengetahuan anak, disamping juga mengetahui kendala-kendala yang dihadapi oleh anak. Dalam homeschooling, portofolio dan jurnal juga berfungsi sebagai buku rapor bagi anak.
Dalam praktiknya, penduduk Hansibong mengalami kesulitan mendapatkan alat-alat tulis tersebut. Portofolio, jurnal ataupun media pembelajaran tulis lainnya tidak ditemukan dalam praktik homeschooling di dusun Hansibong. Kondisi ini akan mempersulit orang tua yang memiliki keinginan agar anaknya melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Keterbatasan alat tulis sebagai media evaluasi juga akan mempersulit siswa ketika dia bergabung dalam homeschooling komunitas yang sudah lebih maju.
3. Keterbatasan pengetahuan guru/orang tua
Orang tua sebagai guru atau tutor dalam praktik homeschooling memegang peranan penting dalam tercapainya tujuan pendidikan. Penentuan dan penyusunan sistem pendidikan dan kurikulum menjadi tanggung jawab orang tua. Memang, tidak terdapat aturan baku tentang kurikulum dan sistem pendidikan yang dianut dalam sekolah rumah, namun penggunaan kurikulum yang asal-asalan juga akan memunculkan kesulitan dalam pencapaian target pendidikan yang diinginkan.
Kasus sekolah rumah di Dusun Hansibong telah menggunakan kurikulum tersendiri yang disesuaikan dengan target pendidikan yang diinginkan. Sebagian besar materi yang diajarkan adalah seputar alam dan lingkungan, sehingga tidak mengherankan jika para orang tua memasukkan alam sekitar sebagai media dalam pembelajaran. Dalam praktiknya, penggunaan media alam tersebut sangat efektif di Dusun Hansibong. Hampir seluruh siswa mengerti dan memahami karakteristik dan cara berinteraksi dengan alam.
4. Keterbatasan informasi
Percepatan pendidikan yang diharapkan oleh pemerintah dalam UU Sisdiknas 2003 tentang pendidikan luar sekolah adalah meningkatnya kualitas pendidikan pada seluruh masyarakat Indonesia, disamping tujuan pemberantasan buta aksara. Sebagai langkah tindak lanjut, pemerintah memberikan ijin kepada seluruh elemen masyarakat untuk mengadakan pendidikan di daerahnya masing-masing tanpa harus terikat pada aturan-aturan yang ditetapkan pada sekolah-sekolah formal. Selanjutnya, pemerintah juga mewadahi lulusan-lulusan sekolah informal tersebut agar supaya mendapat gelar akademik melalui ujian persamaan, seperti Ujian Paket A, B, dan C. Upaya penyetaraan kelulusan tersebut, secara tidak langsung, berfungsi sebagai standardisasi pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki oleh siswa.
Letak geografis Dusun Hansibong, yang terpencil dan terpisah dengan dusun-dusun dan desa-desa lainnya, tidak hanya menyulitkan dalam akses transportasi saja, tetapi juga akses pengetahuan dan informasi. Keterbatasan informasi tersebut menyebabkan mereka tidak mengetahui tindak lanjut dari proses pendidikan yang mereka lakukan. Mayoritas anak-anak usia sekolah di dusun tersebut tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Mereka tidak pernah mendapat informasi dari pemerintah setempat maupun dari orang-orang sekitarnya tentang ujian persamaan untuk Paket A, B, dan C.
Pelaksanaan pendidikan merupakan tanggung jawab setiap orang sebagai anggota masyarakat, namun penyediaan sarana pendidikan merupakan tanggung jawab pemerintah, seperti yang termaktub dalam UUD 1945. Sudah sewajarnya jika pemerintah pusat, melalui pemerintah daerah, menyediakan sarana pendidikan secara fisik maupun non fisik. Penyediaan sarana pendidikan secara non fisik dalam kasus ini adalah penyelenggaraan ujian Paket A, B, dan C untuk seluruh elemen masyarakat, baik masyarakat yang tidak mampu maupun masyarakat terpencil.


KESIMPULAN
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Dari Penelitian tentang Homeschooling sebagai Model Pendidikan Alternatif bagi Masyarakat Terpencil (Studi Analisis Penerapan Konsep Homeschooling pada Suku Lauje Dusun Hansibong Desa Bobalo Kecamatan Palasa Kabupaten Parigi Mautong Sulawesi Tengah) dapat disimpulkan beberapa poin penting sebagai berikut:
1. Pendidikan merupakan hak setiap individu. Setiap orang berhak memilih model pendidikan yang diinginkannya. Dalam kasus Dusun Hansibong, masyarakat memilih model pendidikan sekolah rumah bagi anak-anak mereka. Hal ini menjadi keniscayaan karena tidak adanya sarana pendidikan di daerah tersebut. Penerapan sekolah rumah di Dusun Hansibong masuk dalam kategori sekolah rumah tunggal yang diselenggrakan oleh masing-masing keluarga yang berdomisili di daerah setempat.
2. Penerapan sekolah rumah di Dusun Hansibong masuk dalam kategori sekolah rumah tunggal. Materi-materi yang diajarkan mencakup pelajaran survival (bertahan hidup di hutan), berkebun, mencari rotan, berburu berhitung, membaca. Target dari pelaksanaan sekolah rumah tersebut adalah memberikan ketrampilan hidup (life skill) untuk mempersiapkan anak-anak mereka menjadi generasi penerus dalam menjalani kehidupan nyata yang sesuai dengan kondisi dn kebutuhan daerah yang mereka tempati. Sekolah rumah yang dilaksanakan di Dusun ini tidak bertujuan untuk mendapatkan sertifikat atau Ujian Nasioanl Pendidikan Kesetaraan (UNPK) Paket A, B, dan C dari Pemerintah.
3. Faktor pendukung homeschooling di Dusun Hansibong antara lain; semangat orangtua dan anak untuk belajar yang tinggi, ketertarikan pada nuansa baru yang belum pernah mereka saksikan, dan keberadaan setiap keluarga yang terbiasa mengajarkan pengetahuan pada anak mereka. Sedangkan faktor utama yang menjadi kendala homeschooling mencakup; keterbatasan sarana pendidikan dan transportasi di daerah tersebut. Khusus permasalahan homeschooling, kendala yang dihadapi adalah; keterbatasan buku literatur, keterbatasan alat tulis, pengetahuan orangtua selaku guru, media pembelajaran,  keterbatasan informasi, dan dukungan pemerintah yang masih sangat minim.
DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR PUSTAKA

Arifin. Imron. 1996. Penelitian Kualitatif dalam Ilmu-ilmu Sosial dan Keagamaan. Editor. Malang: Kalimasahada
Biklen, S.K dan Bogdan, R.C. 1982. Qualitative Research for Education: An Introduction to Theory and Methods, Boston: Allyn and Bacon, Inc.
Brannen, Julia. 1997. Memadu Metode Penelitian Kualitatif & Kuantitatif. Terj, Nuktaf Arfawie Kurde, Imam Safe’I dan Noorhaidi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Direktorat Pendidikan Kesetaraan. 2006. Komunitas Sekolah Rumah sebagai Satuan  Pendidikan Kesetaraan. Jakarta.
Departemen Pendidikan Nasional, 2006. Pendidikan Kesetaraan Mencerahkan Anak Bangsa, Direktorat Pendidikan Kesetaraan, Dirjen Pendidikan Luar Sekolah, Jakarta.
Eka, R. 2007. Kondisi Pemerataan Pendidikan di Indonesia, (http://edu-articles.com, diakses 9 Oktober 2011
Joesoef, Soeleiman. 1992. Konsep Dasar Pendidikan Luar Sekolah. Bumi Aksara. Jakarta
Lexy J. Moleong. 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remadja Karya
Linsenbach, Sherri. 2003. Everything Homeschooling Book. Adams Media Corporation, Massachusets.
Menteri Pendidikan Nasional, PERMEN No. 22 Tahun 2006, Standar Isi Pendidikan Nasional.
Mulyadi, Seto. 2007. Homeschooling Keluarga Kak Seto: Mudah, Murah, Meriah dan Direstui Pemerintah, Jakarta: PT. Mizan Pustaka.
Mulyana, Enceng. 2008. Model Tukar Belajar (Learning Exchange) dalam Perspektif Pendidikan Luar Sekolah (PLS), Bandung: Alfabeta.
Oni Suryaman, “Apa itu Homeschooling” dalam Error! Hyperlink reference not valid.diakses pada tanggal 17 Desember 2011.
Poerwadarminta, W.J.S. 1986. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.
Poerwandari, Kristi. 2005. Pendekatan Kualitatif untuk Penellitian Perilaku Manusia. Depok: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3) Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Kampus Baru UI.
Ransom, Marsha. 2001. The Complete Idiot’s Guide to Homeschooling, (USA: Alpha Publishing.
Ramli, Munas Prianto. 2008. Homeschooling: Sebuah Upaya Pemerataan Akses Pendidikan bagi Generasi Putus Sekolah dan dan Generasi di Wilayah Terpencil, Makalah, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah.
Salim, Agus. 2006. Teori & Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana
Nasution, S. 2006. Metode Research. Cetakan 8. Jakarta : Bumi Aksara.
Symon, Gillian & Catherine Cassell.1998. Qualitative Methods and Analysis in Organizational Research. A Practical Guide. New Delhi: Sage
Sumardiono, Homeschooling; Lompatan Cara Belajar, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2007),
Sukardi, 2004. Metodologi Penelitian Pendidikan; Kompetensi dan Praktiknya, Jakarta: Bumi Aksara.
Van Galden (ed). 1991. Homeschooling; Political, Historical and pedagogical Perspective, Ablex Publishing Corporation, New Jersey. 

DIAMBIL DARI : http://stain-palu.ac.id/artikel/52-home-schooling-sebagai-model-pendidikan-alternatif-bagi-masyarakat-terpencil.html