PURI BABADAN ASRI RT 4 RW 4 A.19 BEJI UNGARAN TIMUR 08562668773
Kamis, 11 Oktober 2012
PUSAT EDUKASI DAN TERAPI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS "STAR GEMILANG": Perlukah Mengajarkan Calistung di Usia Dini?
PUSAT EDUKASI DAN TERAPI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS "STAR GEMILANG": Perlukah Mengajarkan Calistung di Usia Dini?: Kompas.com - Tak sedikit orangtua yang bangga dengan kemampuan balitanya dalam membaca, menulis dan berhitung (calistung). Mereka yakin an...
Rabu, 10 Oktober 2012
BIAYA EDUKASI & TERAPI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS “STAR GEMILANG”
BIAYA EDUKASI & TERAPI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
“STAR GEMILANG”
INFORMASI
BIAYA EDUKASI DAN TERAPI
Selayang Pandang Star Gemilang “Edukasi dan Terapi Center ABK” merupakan salah satu tempat terapi ABK ( Anak Berkebutuhan Khusus) di kota Ungaran. Berdiri pada tahun 2008 dengan mengunakan 7 jenis terapi yang di padukan sesuai dengan kondisi anak membuat tampak kemajuan pada anak relative cepat.
Waktu Terapi Ke rumah
12 Pertemuan Senin, Rabu, Jumat
Selayang Pandang Star Gemilang “Edukasi dan Terapi Center ABK” merupakan salah satu tempat terapi ABK ( Anak Berkebutuhan Khusus) di kota Ungaran. Berdiri pada tahun 2008 dengan mengunakan 7 jenis terapi yang di padukan sesuai dengan kondisi anak membuat tampak kemajuan pada anak relative cepat.
Waktu Terapi Ke rumah
12 Pertemuan Senin, Rabu, Jumat
12 Pertemuan Selasa,Kamis,Jumat
24 Pertemuan Senin - Sabtu
Keterangan :
1. Biaya Pendaftaran Rp.50.000,- + Biaya Alat dan Media Terapi Rp. 200.000
2. 1 x pertemuan = 1 Jam ( per 1 jam Rp. 25.00-100.000/jam, sesuai kondisi anak )
3. Pagi hari pukul 08.00 sampai dengan pukul 11.00
4. Siang hari pukul 13.00 sampai dengan pukul 17.00
5. Pembayaran biaya bulanan di haruskan tepat waktu sesuai tanggal masuk terapi, dengan waktu tenggang 5 hari. Lewat dari waktu tenggang anak dinyatakan tidak mengikuti terapi lagi.
Untuk info lebih lengkap mengenai terapi khusus ABK hubungi:
Edukasi dan Terapi ABK
Rubiyarto, S.Pd
Tlp.08562668773
Keterangan :
1. Biaya Pendaftaran Rp.50.000,- + Biaya Alat dan Media Terapi Rp. 200.000
2. 1 x pertemuan = 1 Jam ( per 1 jam Rp. 25.00-100.000/jam, sesuai kondisi anak )
3. Pagi hari pukul 08.00 sampai dengan pukul 11.00
4. Siang hari pukul 13.00 sampai dengan pukul 17.00
5. Pembayaran biaya bulanan di haruskan tepat waktu sesuai tanggal masuk terapi, dengan waktu tenggang 5 hari. Lewat dari waktu tenggang anak dinyatakan tidak mengikuti terapi lagi.
Untuk info lebih lengkap mengenai terapi khusus ABK hubungi:
Edukasi dan Terapi ABK
Rubiyarto, S.Pd
Tlp.08562668773
Selasa, 09 Oktober 2012
Selamat Datang di Web Blog Star Gemilang.
Selamat
Datang di website Star Gemilang “Edukasi dan Terapi ABK”.
Kami hadir
untuk memenuhi kebutuhan Anda akan les privat yang berkualitas.
Area layanan
kami meliputi Ungaran, Ambarawa, dan Sekitarnya.
Adalah suatu
kebanggaan bagi kami bila dapat melayani Anda!
Semoga
layanan yang kami berikan dapat memberikan manfaat bagi Anda.
.
Jika Anda
merasakan manfaat dari layanan kami,
silakan
informasikan pada rekan dan saudara Anda.
Jika ada
saran/kritik, silakan hubungi kami.
Terima kasih atas kunjungannya.
Star Gemilang “ Edukasi dan Terapi ABK” – Memberi
informasi – solusi – edukadi. Bangga Melayani Anda!
Star Gemilang merupakan
Lembaga Edukadi dan Terapi yang
didirikan sejak tahun 2008 alumni IKIP Yogyakarta (sekarang UNY) yang peduli
pada peningkatan mutu pendidikan di Indonesia. Dengan layanan privat yang
lengkap & jangkauan yang luas, semoga dapat menjadi alternatif solusi bagi
Anda.
Metode
belajar diberikan secara
personal/privat sehingga perkembangan siswa dapat selalu dipantau. Dengan
teori dan mengerjakan berbagai soal latihan diharapkan dapat meningkatkan
pemahaman siswa pada pelajaran terkait.
Dengan pengajar
muda yang berkualitas yang berasal dari Disiplin
ilmu yang sesuai dengan kondisi Anak Berkebutuhan Khusus. Pengajar
kami adalah Sarjana Pendidikan Luar Biasa (S1), keilmuannya dapat
dipertanggungjawabkan. Kami berupaya sebaik mungkin untuk membantu
peningkatan pemahaman siswa pada pelajaran yang terkait.
Alasan
memilih Star Gemilang diantaranya:
- Bimbingan diberikan secara PERSONAL/PRIVAT sehingga perkembangan siswa dapat selalu DIPANTAU
- Dibimbing oleh tenaga pengajar dari S1 yang berkompeten dan BERKUALITAS
- Pembelajaran DI KANTOR/RUMAH ANDA sehingga proses belajar menjadi lebih NYAMAN
- Guru privat yang PROFESIONAL, BERSAHABAT dan RAMAH
- TIDAK STRESS akibat macet di jalan
- Tidak perlu BIAYA TRANSPORTASI
- Waktu belajar yang FLEKSIBEL
- Biaya les yang SANGAT TERJANGKAU
- EFEKTIF, PRAKTIS dan EKONOMIS
Jumat, 05 Oktober 2012
Perlukah Mengajarkan Calistung di Usia Dini?
Kompas.com - Tak sedikit orangtua yang bangga dengan
kemampuan balitanya dalam membaca, menulis dan berhitung (calistung).
Mereka yakin anak yang diajarkan kemampuan calistung sejak dini lebih
pintar dari anak seusianya.
Di tambah lagi, kini semakin banyak sekolah dasar yang mensyaratkan calon siswanya punya kemampuan calistung, kendati hal itu sebenarnya dilarang. Karena khawatir anaknya tidak bisa masuk ke SD favorit, para orangtua pun berlomba-lomba mengajari anaknya calistung, antara lain dengan memilih playgroup atau TK yang menjamin balita mahir calistung sebagai persiapan masuk SD.
Apabila minat membaca dan menulis anak sudah muncul sejak dini mungkin proses mengajarkan calistung pada anak menjadi lebih mudah dan menyenangkan. Namun faktanya kebanyakan anak baru benar-benar siap belajar membaca dan menulis di atas usia 5 tahun.
Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini Nonformal dan Informal, Kemdikbud, Lydia Freyani Hawadi, seperti dikutip Kompas (12/1/12) pernah mengingatkan bahwa jenjang PAUD seharusnya tidak membebani anak dengan kemampuan calistung. Siswa baru boleh diajar calistung di SD.
Metode pendekatan di PAUD, kata Lydia, tidak didasarkan pada aspek kognitif, tetapi pada aspek motorik. Karena perkembangan anak usia 0-5 tahun masih terfokus pada aspek motorik, seharusnya metode pembelajarannya lebih menekankan pengembangan soft skill dengan cara bermain.
Lagipula, masa balita adalah masanya bermain dan bermain. Memaksakan anak melakukan sesuatu yang sebenarnya ia belum siap justru akan memberikan pengalaman yang tidak menyenangkan, bahkan akhirnya muncul penolakan.
"Banyak orangtua yang memilih PAUD bukan yang berdampak bagus bagi perkembangan buah hatinya, tapi PAUD yang hasilnya dapat membanggakan orangtua. Yang terjadi, anak pun menjadi stres di usia dini," kata Paulin Sudwikatmono, principal KindyROO, sebuah sekolah bagi anak usia dini.
Ia menambahkan, karena terlalu fokus untuk diajarkan calistung pada usia yang sangat dini, anak-anak tidak berkembang secara alami sebagaimana mestinya karena di masa yang instan ini anak-anak dipacu untuk belajar dan tidak diberikan kesempatan untuk membangun fondasi yang kuat dan berkembang secara alami.
"Sebagai contoh, banyak orang tua yang merasa bahwa anak-anak tidak perlu merangkak lama dan memburu-burukan anak untuk berjalan. Atau juga anak tidak perlu distimulasi motorik halusnya seperti menstimulasi keterampilan tangan dan langsung mengajar anak untuk bisa menulis," katanya.
Akibatnya, ada anak yang sudah berumur 6 tahun tetapi anak tersebut tidak dapat menulis dengan baik atau tidak dapat menulis dalam jangka waktu yang lama karena tangan cepat letih.
Kemampuan merangkak pada anak sebenarnya juga memberikan stimulasi yang banyak terhadap anak tersebut, seperti menstimulasi konsentrasi, mata, koordinasi dan kekuatan otot tubuh. Tetapi karena diburu-buru untuk berjalan cepat dengan cara dititah atau menggunakan alat bantu berjalan (walker), anak-anak tersebut kehilangan kesempatan untuk distimulasi secara benar.
"Orang tua juga berpandangan bahwa anak-anak tidak perlu bermain lama. Jika anak terstimulasi dengan baik dan benar pada saat usia dini dan diberikan kesempatan untuk bermain, anak tersebut tidak akan menemui hambatan dalam belajar di kemudian hari dan anak tersebut distimulasi untuk menjadi lebih kreatif," paparnya.
Bermain yang terarah merupakan fondasi yang penting untuk menunjang kesempurnaan dalam kemampuan belajar di kemudian hari.
"Di KindyROO, kami memberikan arahan dan pengalaman kepada orang tua bagaimana cara menstimulasi anak dengan cara yang baik dan benar untuk menghindari kesulitan belajar di kemudian hari pada saaat mereka masuk usia sekolah," ujar Paulin.
Dengan pengalaman lebih dari 30 tahun, KindyROO mendidik orang tua dan anak agar setiap fase pekembangan dalam anak harus dilalui dan dikuasai. Anak tidak dipaksa secara instant untuk melakukan hal-hal yang tidak cocok untuk usianya.
Anak-anak juga harus diberikan waktu untuk berkembang secara alami dan diberikan waktu yang banyak untuk bermain secara terarah. Yang paling penting adalah anak-anak diberikan fondasi yang kuat dan otak distimulasi secara maksimal agar anak-anak siap menghadapi tantangan pada saat sekolah nanti. (Advetorial)
Di tambah lagi, kini semakin banyak sekolah dasar yang mensyaratkan calon siswanya punya kemampuan calistung, kendati hal itu sebenarnya dilarang. Karena khawatir anaknya tidak bisa masuk ke SD favorit, para orangtua pun berlomba-lomba mengajari anaknya calistung, antara lain dengan memilih playgroup atau TK yang menjamin balita mahir calistung sebagai persiapan masuk SD.
Apabila minat membaca dan menulis anak sudah muncul sejak dini mungkin proses mengajarkan calistung pada anak menjadi lebih mudah dan menyenangkan. Namun faktanya kebanyakan anak baru benar-benar siap belajar membaca dan menulis di atas usia 5 tahun.
Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini Nonformal dan Informal, Kemdikbud, Lydia Freyani Hawadi, seperti dikutip Kompas (12/1/12) pernah mengingatkan bahwa jenjang PAUD seharusnya tidak membebani anak dengan kemampuan calistung. Siswa baru boleh diajar calistung di SD.
Metode pendekatan di PAUD, kata Lydia, tidak didasarkan pada aspek kognitif, tetapi pada aspek motorik. Karena perkembangan anak usia 0-5 tahun masih terfokus pada aspek motorik, seharusnya metode pembelajarannya lebih menekankan pengembangan soft skill dengan cara bermain.
Lagipula, masa balita adalah masanya bermain dan bermain. Memaksakan anak melakukan sesuatu yang sebenarnya ia belum siap justru akan memberikan pengalaman yang tidak menyenangkan, bahkan akhirnya muncul penolakan.
"Banyak orangtua yang memilih PAUD bukan yang berdampak bagus bagi perkembangan buah hatinya, tapi PAUD yang hasilnya dapat membanggakan orangtua. Yang terjadi, anak pun menjadi stres di usia dini," kata Paulin Sudwikatmono, principal KindyROO, sebuah sekolah bagi anak usia dini.
Ia menambahkan, karena terlalu fokus untuk diajarkan calistung pada usia yang sangat dini, anak-anak tidak berkembang secara alami sebagaimana mestinya karena di masa yang instan ini anak-anak dipacu untuk belajar dan tidak diberikan kesempatan untuk membangun fondasi yang kuat dan berkembang secara alami.
"Sebagai contoh, banyak orang tua yang merasa bahwa anak-anak tidak perlu merangkak lama dan memburu-burukan anak untuk berjalan. Atau juga anak tidak perlu distimulasi motorik halusnya seperti menstimulasi keterampilan tangan dan langsung mengajar anak untuk bisa menulis," katanya.
Akibatnya, ada anak yang sudah berumur 6 tahun tetapi anak tersebut tidak dapat menulis dengan baik atau tidak dapat menulis dalam jangka waktu yang lama karena tangan cepat letih.
Kemampuan merangkak pada anak sebenarnya juga memberikan stimulasi yang banyak terhadap anak tersebut, seperti menstimulasi konsentrasi, mata, koordinasi dan kekuatan otot tubuh. Tetapi karena diburu-buru untuk berjalan cepat dengan cara dititah atau menggunakan alat bantu berjalan (walker), anak-anak tersebut kehilangan kesempatan untuk distimulasi secara benar.
"Orang tua juga berpandangan bahwa anak-anak tidak perlu bermain lama. Jika anak terstimulasi dengan baik dan benar pada saat usia dini dan diberikan kesempatan untuk bermain, anak tersebut tidak akan menemui hambatan dalam belajar di kemudian hari dan anak tersebut distimulasi untuk menjadi lebih kreatif," paparnya.
Bermain yang terarah merupakan fondasi yang penting untuk menunjang kesempurnaan dalam kemampuan belajar di kemudian hari.
"Di KindyROO, kami memberikan arahan dan pengalaman kepada orang tua bagaimana cara menstimulasi anak dengan cara yang baik dan benar untuk menghindari kesulitan belajar di kemudian hari pada saaat mereka masuk usia sekolah," ujar Paulin.
Dengan pengalaman lebih dari 30 tahun, KindyROO mendidik orang tua dan anak agar setiap fase pekembangan dalam anak harus dilalui dan dikuasai. Anak tidak dipaksa secara instant untuk melakukan hal-hal yang tidak cocok untuk usianya.
Anak-anak juga harus diberikan waktu untuk berkembang secara alami dan diberikan waktu yang banyak untuk bermain secara terarah. Yang paling penting adalah anak-anak diberikan fondasi yang kuat dan otak distimulasi secara maksimal agar anak-anak siap menghadapi tantangan pada saat sekolah nanti. (Advetorial)
Rabu, 03 Oktober 2012
PROFIL TERAPIS
=========================================================================
Nama : Rubiyarto, S.Pd
TTL : Sleman, 3 Pebruari 1979
Alumni : UNY (Universitas Negeri Yogyakarta), FIP PLB
Alamat Rumah : PURI BABADAN ASRI RT 4 RW 4 A.19 BEJI UNGARAN TIMUR 50551
HP : 08562668773 / 08884136500
==========================================================================
=========================================================================
Nama : Rubiyarto, S.Pd
TTL : Sleman, 3 Pebruari 1979
Alumni : UNY (Universitas Negeri Yogyakarta), FIP PLB
Alamat Rumah : PURI BABADAN ASRI RT 4 RW 4 A.19 BEJI UNGARAN TIMUR 50551
HP : 08562668773 / 08884136500
==========================================================================
Selasa, 02 Oktober 2012
Home-schooling-sebagai-model-pendidikan-alternatif-bagi-masyarakat
Pendidikan
adalah hak setiap manusia yang hidup di dunia ini. Pendidikan disamping
sebagai proses transfer pengetahuan, juga berfungsi sebagai sarana
transformasi dan regenerasi kehidupan sosial. Setiap Negara maupun
propinsi memiliki sistem pendidikan yang berbeda-beda, bahkan di daerah
maupun komunitas tertinggal yang tidak mempunyai lembaga pendidikan
formal pun memiliki sistem pendidikan tersendiri sebagai proses
transformasi pengetahuan dan kebudayaan. Setiap anak manusia dilahirkan
di dalam suatu habitus kebudayaan dalam masyarakat lokalnya. Masyarakat
lokal berdasarkan tradisi mempunyai mekanisme di dalam mendidik calon
anggotanya (Tilaar, 2005: 113). Sistem pendidikan tersebut menjadi ciri
khas dari model pendidikan yang diterapkan pada suatu daerah.
Undang-undang
Dasar 1945 memberikan amanat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
untuk mencapainya pemerintah Indonesia menyelenggarakan satu sistem
pendidikan nasional. Di Indonesia, kita mengenal ada dua sistem
pendidikan, yaitu sistem pendidikan sentralistik, yang diterjemahkan
dalam kurikulum pendidikan nasional, dan sistem pendidikan
desentralistik sebagai wujud dari otonomi pendidikan. Sistem pendidikan
nasional berfungsi untuk membuat standar umum sebagai ukuran
keberhasilan pendidikan dalam skala nasional. Sistem pendidikan lokal
berfungsi untuk mewadahi kebutuhan-kebutuhan daerah yang tidak tercakup
dalam kurikulum nasional, yang kemudian disebut dengan kurikulum muatan
lokal atau mulok. Mulok berisi materi-materi pendidikan yang disesuaikan
dengan kebutuhan pasar suatu daerah, mencakup pengembangan
intelektualitas, life skills dan kreativitas yang disesuaikan dengan kearifan lokal dan norma yang berlaku di daerah tersebut.
Dewasa
ini, perkembangan pendidikan di Indonesia mengalami kemajuan yang
pesat, setidaknya dalam hal kuantitas. Hal ini ditandai dengan semakin
besarnya APBN yang dialokasikan oleh pemerintah dalam bidang pendidikan.
Anggaran pemerintah dalam bidang pendidikan pada tahun 2012 meningkat
sebesar 20,2 % total anggaran yang dikeluarkan pemerintah pada era-era
sebelumnya yang hanya 8%. Besarnya anggaran tersebut dapat dirasakan
oleh masyarakat dengan bermunculannya sekolah gratis untuk SD dan SMP
sebagai penerapan wajib belajar 9 tahun, beasiswa pendidikan,
meningkatnya gaji guru dan dosen, sertifikasi guru dan dosen, dan
semisalnya. Kita patut memberi apresiasi terhadap segala usaha
pemerintah untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas pendidikan anak
bangsa, meskipun pada praktiknya memang masih banyak masyarakat yang
belum tersentuh oleh anggaran pendidikan yang ditetapkan pemerintah
tersebut, terutama masyarakat pedesaan yang secara geografis berada di
tempat terpencil.
Data
Komisi Nasional Perlindungan Anak (KNPA) bulan Agustus 2011 menyatakan
bahwa 11,7 juta anak Indonesia belum tersentuh pendidikan. Anak-anak
tersebut mayoritas berada di daerah-daerah pelosok termasuk komunitas
adat terpencil (Sirait, 2011). Masalah umum yang terjadi di
daerah-daerah tersebut adalah minimnya fasilitas-fasilitas sekolah dan
kurangnya guru yang bertugas di daerah-daerah tersebut, dikarenakan
letak geografis yang terpencil dan sarana transportasi yang sangat
minim. Hal itu pula yang menyebabkan program-program Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan tidak berhasil dilaksanakan. Selain komunitas
adat terpencil, daerah-daerah miskin pedesaan dan kampung-kampung
masyarakat pinggiran di perkotaan juga kurang mendapat akses pendidikan
yang merata.
Kondisi tersebut setidaknya memberikan dua dampak dalam dunia pendidikan. Pertama, angka putus sekolah (drop out)yang
setiap tahun bertambah. Kedua, angka kenaikan penduduk yang buta huruf
semakin meningkat. Tidak dapat dipungkiri bahwa sekolah-sekolah Negeri
(SDN, MIN, SMPN dan MTsN) hanya terdapat di daerah-daerah perkotaan.
Jarang sekali sekolah pemerintah yang dibangun di pelosok pedesaan,
apalagi di desa-desa terpencil. Hampir mayoritas sekolah di desa
terpencil adalah atas swadaya masyarakat (sekolah swasta). Padahal, UUD
1945 mengamanatkan bahwa setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan
dan pengajaran yang layak, disamping juga subsidi pendidikan. Manajemen
sekolah yang tidak tersistem dengan baik, ditambah dengan kondisi sarana
dan prasarana sekolah yang kurang memadai serta minimnya guru negeri
yang mengabdikan diri, menyebabkan masyarakat daerah terpencil semakin
tertinggal dalam dunia pendidikan. Maka, dibutuhkan solusi alternatif
untuk meningkatkan kualitas pendidikan masyarakat terpencil agar mampu
bersaing secara akademis dan praktis dengan anggota masyarakat lain.
Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang diadakan tahun 1989, telah
mendeklarasikan hak-hak anak, dan ditegaskan bahwa semua anak berhak
memperoleh pendidikan tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun. Deklarasi
tersebut dilanjutkan dengan The Salamanca Statement and Framework for Action on Special Needs Education yang
memberikan kewajiban bagi sekolah untuk mengakomodasi semua anak
termasuk anak-anak yang memiliki kelainan fisik, intelektual, sosial,
emosional, linguistik maupun kelainan lainnya. Sekolah-sekolah juga
harus memberikan layanan pendidikan untuk anak-anak yang berkelainan
maupun yang berbakat, anak-anak jalanan, pekerja anak, anak-anak dari
masyarakat terpencil atau berpindah-pindah tempat, anak-anak dari
suku-suku yang berbahasa, etnik atau budaya minoritas dan anak-anak yang
rawan termarjinalkan lainnya.
Setidaknya terdapat beberapa alternatif solusi yang ditawarkan oleh
pemerintah. Pertama, membentuk pendidikan luar sekolah. Kedua, mengajak
keluarga untuk berpartisipasi dalam dunia pendidikan melalui model homeschooling.
Dua alternatif tersebut telah mendapat persetujuan pemerintah lewat UU
No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pendidikan luar
sekolah dan homeschooling merupakan salah satu upaya pemerintah
dalam menerapkan pendidikan layanan khusus seperti yang diamanatkan
dalam Undang-undang pendidikan. Pendidikan layanan khusus merupakan
pendidikan bagi daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat
terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak
mampu dari segi ekonomi. Masyarakat diberi hak oleh pemerintah untuk
menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal
dan nonformal, sesuai dengan ke khasan agama, lingkungan sosial, dan
budaya, untuk kepentingan masyarakat. Tujuan dari pendidikan layanan
khusus ini salah satunya adalah melayani kebutuhan pendidikan pada
masyarakat adat terpencil. Hal ini sejalan dengan program pemerintah
dalam pemerataan pendidikan. Selain itu memberdayakan masyarakat,
khususnya masyarakat adat terpencil dalam upaya pengentasan kemiskinan
yang disebabkan oleh berbagai hal.
Secara
lebih rinci, Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, Pasal 5, ayat 1 s.d. 4 telah menegaskan bahwa:
1. Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.
2. Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.
3. Warga
negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang
terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus.
4. Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.
Proses pembelajaran keluarga home schooling dapat
memanfaatkan fasilitas yang ada di dunia nyata, seperti fasilitas
pendidikan (perpustakaan, museum, lembaga Penelitian), fasilitas umum
(taman, stasiun, jalan raya), fasilitas sosial (taman, panti asuhan,
rumah sakit), maupun fasilitas bisnis (mall, pameran, restoran, pabrik,
sawah, perkebunan). Selain itu, keluarga homeschooling dapat
menggunakan guru privat, tutor, mendaftarkan anak pada kursus atau klub
hobi (komik, film, fotografi), dan sebagainya. Internet dan teknologi
audio visual yang semakin berkembang juga merupakan sarana belajar yang
biasa digunakan oleh keluarga homeschooling (Sumardiono, 2007).
Mulyadi (2007) menambahkan bahwa homeschooling akan
membelajarkan anak-anak dengan berbagai situasi, kondisi, dan
lingkungan sosial yang terus berkembang. Orangtua seharusnya memusatkan
perhatian pada anak-anak, selama mereka terjaga dan beraktivitas,
kedekatan orangtua dengan anak-anaknya dapat dijadikan cara belajar yang
efektif dan dapat dikaitkan dengan pengalaman-pengalaman yang
menyenangkan yang diperoleh dari fasilitas yang ada di dunia nyata.
Pada hakekatnya, baik home schooling
maupun sekolah umum, sama-sama sebagai sebuah sarana untuk
menghantarkan anak-anak mencapai tujuan pendidikan seperti yang
diharapkan. Akan tetapi, home schooling dan sekolah juga
memiliki beberapa perbedaan. Pada sistem sekolah, tanggung jawab
pendidikan anak didelegasikan orang tua kepada guru dan pengelola
sekolah. Pada home schooling, tanggung jawab pendidikan anak
sepenuhnya berada di tangan orang tua. Sistem di sekolah
terstandardisasi untuk memenuhi kebutuhan anak secara umum, sementara
sistem pada home schooling disesuaikan dengan kebutuhan anak
dan kondisi keluarga. Pada sekolah, jadwal belajar telah ditentukan dan
seragam untuk seluruh siswa. Pada home schooling jadwal belajar
fleksibel, tergantung pada kesepakatan antara anak dan orang tua.
Pengelolaan di sekolah terpusat, seperti pengaturan dan penentuan
kurikulum dan materi ajar. Pengelolaan pada home schooling terdesentralisasi pada keinginan keluarga home schooling. Kurikulum dan materi ajar dipilih dan ditentukan oleh orang tua (Simbolon, 2007).
Berbagai
latar belakang tersebut memberikan motivasi kepada penulis untuk
melakukan penelitian guna menemukan format pendidikan yang sesuai dan
tepat bagi masyarakat terpencil, dengan harapan memberikan sumbangsih
pemikiran dalam dunia pendidikan di Sulawesi Tengah.
Dalam
Penelitian ini, penulis berusaha meneliti sebuah desa terpencil Suku
Laujeh yang terletak di pegunungan Sojol Desa Bogalo Kecamatan Palasa
Kabupaten Parigi Moutong Sulawesi Tengah. Masyarakat Suku Laujeh di
pegunungan Sojol merupakan masyarakat terpencil yang jauh dari perkotaan
maupun desa-desa sebelahnya. Untuk mencapai desa terdekat, diperlukan
waktu satu hari perjalanan kaki. Hal ini dikarenakan tidak adanya sarana
transportasi yang mampu masuk ke daerah tersebut selain berjalan kaki.
Sarana komunikasi juga sangat minim, yang menyebabkan penduduk desa
menjadi terisolir dari perkembangan zaman. Sarana pendidikan dan
kesehatan juga sangat tidak memadai. Di desa tersebut belum ada sekolah
dan puskesmas yang dapat memberikan layanan pendidikan dan kesehatan
pada masyarakat. Sampai saat Penelitian ini dilaksanakan, belum ada
seorang guru pun yang bertugas atau ditugaskan Negara untuk memberikan
pendidikan di daerah tersebut, hanya sebagian pastor pada beberapa
dekade lalu yang sempat datang ke desa tersebut dan mengajarkan baca
tulis.
RUMUSAN DAN BATASAN MASALAH
Dalam Penelitian ini, Peneliti mengacu pada rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana penerapan pendidikan model home schooling pada masyarakat terpencil Suku Laujeh di pegunungan Sojol Desa Bogalo Kecamatan Palasa Kabupaten Parigi Moutong?
2. Apa faktor-faktor pendukung dan penghambat penerapan pendidikan model homes chooling pada masyarakat terpencil Suku Laujeh di pegunungan Sojol Desa Bogalo Kecamatan Palasa Kabupaten Parigi Moutong?
Dalam
penelitian ini, Peneliti perlu membatasi lingkup pembahasannya,
sehingga tidak keluar dari pokok masalah yang akan diteliti. Adapun batasan masalah penelitian ini sebagai berikut:
1. Home schooling sebagai sarana transfer pengetahuan dan skills dari orang tua kepada anak.
2. Masyarakat Suku Laujeh sebagai komunitas terpencil yang terisolasi dari kehidupan sekitarnya.
Jenis
penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Menurut Poerwandari (1998)
penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan dan mengolah
data yang sifatnya deskriptif, seperti transkripsi wawancara, catatan
lapangan, gambar, foto rekaman video dan lain-lain. Sejalan dengan hal
ini, Bogdan dan Biklen (1982) mengemukakan bahwa penelitian kualitatif
akan menghasilkan data deskriptif dalam bentuk uraian kata-kata tertulis
atau lisan, atau data dalam bentuk perilaku yang diamati. Pengamatan
tersebut harus dilakukan secara menyeluruh (holistik).
Penelitian
kualitatif bertujuan untuk melakukan penafsiran terhadap fenomena
sosial. Metodologi penelitian yang dipergunakan adalah multi metodologi,
sehingga sebenarnya tidak ada metodologi yang khusus. Para periset
kualitatif dapat menggunakan semiotika, narasi, isi, diskursus, arsip,
analisis fonemik, bahkan statistik. Di sisi yang lain, para periset
kualitatif juga menggunakan pendekatan, metode dan teknik-teknik
etnometodologi, fenemologi, hermeneutik, feminisme, rhizomatik,
dekonstruksionisme, etnografi, wawancara, psikoanalisis, studi budaya,
Penelitian survai, dan pengamatan melibat (participant observation) (Agus Salim, 2006).
Dalam
penelitian kualitatif perlu menekankan pada pentingnya kedekatan dengan
orang-orang dan situasi penelitian, agar Peneliti memperoleh pemahaman
jelas tentang realitas dan kondisi kehidupan nyata.( Patton dalam
Poerwandari, 1998)
Subyek
Penelitian ini adalah masyarakat terpencil Suku Laujeh yang terletak di
pengunungan Sojol Desa Bogalo Kecamatan Palasa Kabupaten Parigi
Moutong. Penelitian ini merupakan penelitian populatif, sehingga tidak
diperlukan sampel dalam pengumpulan data. Penulis mengambil data dari
masyarakat terpencil di pengunungan yang teridentifikasi dengan nama
Suku Laujeh sebanyak 124 Kepala keluarga.
Penelitian ini tersusun dalam beberapa bab, yaitu:
Bab
I yang berisi latar belakang masalah, rumusaan masalah dan batasan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, penegasan judul dan garis-garis
besar penelitian yang menguraikan gambaran isi dari penelitian ini.
Bab II yang berisi Konsepsi Pendidikan Home schooling, Langkah-langkah Penerapan Pendidikan Home schooling, dan Bentuk Pendidikan Model Home schooling pada Masyarakat Terpencil.
Bab III merupakan metode penelitian yang menguraikan
tentang metodologi yang Peneliti gunakan dalam kegiatan penelitian ini
yang mencakup; pendekatan penelitian yang menguraikan tentang penelitian
kualitatif, subyek penelitian, tahapan penelitian, teknik pengumpulan
data, dan teknik analisis data.
Bab IV adalah hasil penelitian yang menguraikan 3 item penting, yaitu; Gambaran Subyek Penelitian, Penerapan Pendidikan Model Home Schooling pada Masyarakat Terpencil Suku Laujeh Desa Bogalo Kecamatan Palasa Kabupaten Parigi Moutong. Faktor-faktor Pendukung dan Penghambat Penerapan Pendidikan Model home schooling pada Masyarakat Terpencil Suku Laujeh Desa Bogalo Kecamatan Palasa Kabupaten Parigi Moutong.
Bab V merupakan penutup; menguraikan kesimpulan hasil penelitian dan implikasinya terhadap pihak-pihak terkait yang dapat membantu keberhasilan penerapan pendidikan model home schooling pada masyarakat terpencil Suku Laujeh Desa Bogalo Kecamatan Palasa Kabupaten Parigi Moutong.
PEMBAHASAN
Kata penerapan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1986) bermakna pemasangan,
pengenaan. Dalam konteks pendidikan, penerapan berarti pelaksanaan
suatu model pembelajaran di lembaga pendidikan atau di suatu daerah yang
mempunyai kelompok belajar atau peserta didik.
Dalam bahasa Indonesia, terjemahan dari home schooling adalah
“sekolah rumah”. Istilah ini dipakai secara resmi oleh Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk menyebutkan home schooling. Selain sekolah rumah, home schooling terkadang diterjemahkan dengan istilah sekolah mandiri. Home schooling merupakan model pendidikan alternatif selain di sekolah. Pengertian umum home schooling adalah
model pendidikan di mana sebuah keluarga memilih untuk bertanggung
jawab sendiri atas pendidikan anak-anaknya dan mendidik anaknya dengan
menggunakan rumah sebagai basis pendidikannya. Orangtua bertanggung
jawab secara aktif atas proses pendidikan anaknya. Bertanggung jawab
secara aktif di sini adalah keterlibatan penuh orangtua pada proses
penyelenggaraan pendidikan, mulai dalam hal penentuan arah dan tujuan
pendidikan, nilai-nilai (values) yang ingin dikembangkan,
kecerdasan dan keterampilan yang hendak diraih, kurikulum dan materi
pembelajaran hingga metode belajar serta praktik belajar keseharian anak
(Sumardiono, 2007).
Didiet Adiputro (2008), home schooling atau sekolah rumah, adalah sebuah aktivitas untuk menyekolahkan anak di rumah secara penuh. Home schooling
merupakan sebuah pilihan dan khazanah alternatif pendidikan bagi orang
tua dalam meningkatkan mutu pendidikan, mengembangkan nilai iman
(agama), dan menginginkan suasana belajar yang lebih menyenangkan.
Ransom (2001) menyatakan bahwa terdapat dua hal penting dalam pendidikan home schooling, yaitu: (1) sebagian besar pelaksana home schooling
melakukan aktivitas belajarnya di rumah. Sebagian melaksanakan hampir
seluruh kegiatan belajar di rumah, dengan “membeli” kurikulum yang telah
terstruktur; (2) dalam melaksanakan home schooling, orangtua
dan anak bertanggung jawab terhadap pendidikan dan proses belajar,
memutuskan apa yang akan dipelajari, kapan waktu untuk belajar, dan
bagaimana cara belajarnya.
Menurut Dhanang Sasongko (2007), Sekretaris Jenderal Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif (Asah Pena), home schooling terdiri dari tiga jenis. Pertama, home schooling tunggal yang dilakukan di rumah. Penggiat utamanya adalah satu keluarga. Kedua, home schooling majemuk terdiri dari dua keluarga. Ketiga, home schooling komunitas yang dibangun dari komunitas masyarakat setempat dengan metode pembelajarannya secara tutorial. Substansi dari homeschooling itu adalah proses kegiatan belajar mengajar yang diselenggarkan di mana pun, kapan pun, dan oleh atau dengan siapa saja.
Daerah
terpencil bermakna; suatu tempat yang sudah diami oleh komunitas suatu
masyarakat yang berada jauh dari pusat perkotaan. Perhatian dan subsidi
pemerataan layanan pendidikan oleh pemerintah juga masih belum merata ke
seluruh daerah terpencil, sehingga masyarakat kelas ini harus
terisolasi dari berbagai perkembangan zaman yang terjadi dewasaa ini,
termasuk kemajuan aspek pendidikan.
Banyak alasan sehingga masyarakat dan orang tua memilih Homeschooling sebagai tempat belajar bagi anak-anak mereka. Secara general, alasan utama orang memilih homeschooling
adalah tidak puas dengan model sekolah umum dan ingin memberikan
pendidikan yang lebih berkualitas kepada anak mereka. Selain itu, ada
yang melakukan homeschooling karena faktor kondisi georafis
suatu daerah yang sangat terisolasi dari daerah perkotaan sehingga tidak
dapat melaksanakan pendidkan secara formal, sebab segala sumber daya
pendidikan sulit diperoleh dan ada pula kerena alasan kondisi khusus
yang terjadi pada anak mereka; misalnya autis, anak-fokus, anak
berbakat, dan semisalnya.
Homeschooling
merupakan suatu pendidikan alternatif yang dapat dilaksanakan
dimanapun, terutama masyarakat tertinggal dan desa terpencil. Proses
penentuan kurikulum yang dapat diseleksi sendiri orang tua, sebagai
guru, memungkinkan pelaksana Homeschooling untuk menyesuaikan dengan need and demand
mereka. Namun proses penyeleksian hendaknya berdasarkan pada
pengetahuan yang cukup tentang kurikulum dan materi yang berlaku pada
sekolah-sekolah yang ada. Dengan kata lain materi homeschooling harus disesuaikan dengan kurikulum yang ada, jika tidak maka homeschooling hanya dianggap sebagai bimbingan belajar atau belajar mandiri.
Pada
subyek penelitian di Dusun Hansibong Desa Bobalo Kecamatan Palasa
Kabupaten Parigi Moutong terdapat sebuah kondisi proses pembelajaran
yang unik. Dari observasi dan wawancara yang dilakukan peneliti, semua
anak usia sekolah (usia 7–15 tahun) yang terdapat di dusun tersebut
tidak mengenyam pendidikan sekolah. Hal ini disebabkan tidak adanya
sarana dan prasarana pendidikan di daerah tersebut. Sebanyak 17
responden (dalam penelitian ini sampel diambil peneliti sebanyak 17
orang) yang menjadi subyek penelitian, mengatakan bahwa terdapat dua
alasan sehingga anak-anak mereka yang tidak sekolah. Pertama, tidak adanya sekolah atau lembaga pendidikan baik formal maupun non formal di dusun tersebut. Kedua, jarak
sekolah terdekat ditempuh selam 6 jam perjalanan kaki. Sampai saat ini
belum ada sarana transportasi yang mampu menjangkau daerah tersebut,
perjalanan ke desa sebelah atau ke kantor desa hanya dapat ditempuh
dengan berjalan kaki dengan estimasi waktu 6 jam.
Kondisi
perekonomian masyarakat Dusun Hansibong dapat dikategorikan dalam
masyarakat ekonomi lemah. Mayoritas penduduknya adalah petani dan
pencari rotan, dengan ubi-ubian sebagai makanan pokok mereka. Berkebun
merupakan pekerjaan sehari-hari penduduk Dusun Hansibong, disamping juga
berburu dan mencari rotan. Hasil dari kebun, berburu dan rotan tersebut
mereka jual ke pasar yang berjarak 6-7 jam perjalanan kaki. Kondisi
perekonomian tersebut tentunya memberikan dampak yang kurang
menguntungkan bagi pelaksanaan pendidikan di daerah ini. Sebanyak 10
responden mengatakan bahwa faktor ekonomi menjadi kendala dalam
pendidikan, sedangkan 7 responden lainnya menjawab tidak menjadi
kendala. Tentunya hal ini menjadi menarik, karena jawaban tersebut
mengindikasikan bahwa sebenarnya sebagian masyarakat Hansibong sudah
memiliki kesadaran akan pentingnya pendidikan, dan menganggap masalah
ekonomi tidak menjadi kendala dalam menempuh pendidikan.
Namun,
ketertarikan masyarakat terhadap pendidikan tersebut tidak berbanding
lurus dengan upaya pemerintah daerah dalam menyelenggarakan dan
memfasilitasi sarana dan prasarana pendidikan di daerah tersebut.
Pemerintah juga dinilai tidak memberikan perhatian pada peningkatan
sektor pendidikan di Dusun Hansibong. Untuk memenuhi kebutuhan media
pendidikan seperti alat-alat tulis, buku-buku pelajaran, dan semisalnya,
masyarakat Hansibong harus berjalan kaki selama 6 jam dan membelinya
di pasar.
Secara
umum, masyarakat Hansibong dapat dikatakan telah melaksanakan proses
pendidikan sekolah rumah. Namun, penerapan sekolah rumah tersebut di
dusun tersebut tidak sama dengan penerapan pada daerah-daerah lain di
Indonesia. Penerapan homeschooling pada dusun Hansibong secara
deskriptif tidak tersusun secara rapi. Peneliti tidak menemukan, dalam
observasi dan wawancara, sebuah bentuk jadwal maupun model evaluasi yang
sistematis, begitu juga dengan penggunaan metode dan media belajar yang
relevan.
Walaupun demikian, terdapat beberapa faktor pendukung penerapan homeschooling
di Dusun Hansibong Desa Bobalo antara lain; semangat orangtua dan anak
untuk belajar yang tinggi, ketertarikan pada nuansa baru yang belum
pernah mereka saksikan, dan keberadaan setiap keluarga yang terbiasa
mengajarkan pengetahuan dan kecakapan hidup pada anak mereka sesuai
dengan kondisi alam tempat mereka menjalani kehidupan sehari-hari.
Disamping kelebihan tersebut terdapat sejumlah hambagtan dalam pelaksanaan pendidikan model homeschooling di daerah ini. Peneliti berkeyakinan bahwa ketidaklancaran pelaksanaan homeschooling pada masyarakat dusun Hansibong dikarenakan beberapa hal, yaitu:
1. Keterbatasan Literatur.
Keterbatasan
literatur, dalam kasus ini dapat dibilang tidak ada literature,
merupakan faktor penghambat paling dominan dalam pelaksanaan sebuah
proses pendidikan. Pengayaan informasi tidak akan dapat dilaksanakan
oleh para guru. Literatur tidak hanya diperlukan oleh guru sebagai bahan
pengaya informasi dalam dunia pendidikan, tetapi juga sebagai
standardisasi materi pelajaran pada materi-materi ajar tertentu, agar
memenuhi standar yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Homeschooling
memang tidak mensyaratkan model kurikulum dan materi tertentu dalam
pelaksanaannya, namun jika homeschooler memiliki keinginan
untuk melanjutkan studi ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, maka
dia harus mempersiapkan meteri-materi pelajaran yang dibutuhkan.
Pada
beberapa kasus penerapan homeschooling di beberapa daerah di Jakarta
maupun beberapa kota lainnya, homeschooler diuntungkan dengan adanya
media internet sebagai tempat pencarian literatur untuk berbagai materi
ajar. Mereka juga diuntungkan dengan keberadaan perpustakaan umum, toko
buku, komunitas homeschooling lainnya dan para ahli pendidikan yang siap
berbagi/sharing pengetahuan. Fenomena seperti ini tidak dapat ditemui
di dusun Hansibong. Perpustakaan umum, toko buku, ahli pendidikan dan
hal-hal yang berhubungan dengan literatur tidak terdapat di dusun
Hansibong, bahkan di radius 6-7 jam perjalanan kaki juga masih belum
dapat ditemukan. Keterbatasan literatur inilah yang menyebabkan praktik
homeschooling di dusun Hansibong tidak mengalami perkembangan yang
signifikan dalam hal materi ajar. Mereka hanya mengajarkan
ketrampilan-ketrampilan dasar sebagai upaya meneruskan tradisi keluarga.
2. Keterbatasan alat tulis dan media pembelajaran
Alat-alat
tulis merupakan sarana yang signifikan dalam dunia pendidikan. Alat
tulis berfungsi sebagai media penyimpanan dan perekaman pengetahuan yang
diterima oleh siswa. Alat tulis juga berfungsi sebagai alat evaluasi
dan monitoring bagi orang tua, disamping sebagai media pembelajaran pada
saat dilaksanakan proses pengajaran. Teknik portofolio dan jurnal
merupakan dua alat evaluasi yang digunakan dalam homeschooling
dengan menggunakan alat tulis. Portofolio dan jurnal memungkinkan orang
tua mengetahui perkembangan pengetahuan anak, disamping juga mengetahui
kendala-kendala yang dihadapi oleh anak. Dalam homeschooling, portofolio dan jurnal juga berfungsi sebagai buku rapor bagi anak.
Dalam
praktiknya, penduduk Hansibong mengalami kesulitan mendapatkan
alat-alat tulis tersebut. Portofolio, jurnal ataupun media pembelajaran
tulis lainnya tidak ditemukan dalam praktik homeschooling di
dusun Hansibong. Kondisi ini akan mempersulit orang tua yang memiliki
keinginan agar anaknya melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih
tinggi. Keterbatasan alat tulis sebagai media evaluasi juga akan
mempersulit siswa ketika dia bergabung dalam homeschooling komunitas yang sudah lebih maju.
3. Keterbatasan pengetahuan guru/orang tua
Orang tua sebagai guru atau tutor dalam praktik homeschooling memegang
peranan penting dalam tercapainya tujuan pendidikan. Penentuan dan
penyusunan sistem pendidikan dan kurikulum menjadi tanggung jawab orang
tua. Memang, tidak terdapat aturan baku tentang kurikulum dan sistem
pendidikan yang dianut dalam sekolah rumah, namun penggunaan kurikulum
yang asal-asalan juga akan memunculkan kesulitan dalam pencapaian target
pendidikan yang diinginkan.
Kasus
sekolah rumah di Dusun Hansibong telah menggunakan kurikulum tersendiri
yang disesuaikan dengan target pendidikan yang diinginkan. Sebagian
besar materi yang diajarkan adalah seputar alam dan lingkungan, sehingga
tidak mengherankan jika para orang tua memasukkan alam sekitar sebagai
media dalam pembelajaran. Dalam praktiknya, penggunaan media alam
tersebut sangat efektif di Dusun Hansibong. Hampir seluruh siswa
mengerti dan memahami karakteristik dan cara berinteraksi dengan alam.
4. Keterbatasan informasi
Percepatan
pendidikan yang diharapkan oleh pemerintah dalam UU Sisdiknas 2003
tentang pendidikan luar sekolah adalah meningkatnya kualitas pendidikan
pada seluruh masyarakat Indonesia, disamping tujuan pemberantasan buta
aksara. Sebagai langkah tindak lanjut, pemerintah memberikan ijin kepada
seluruh elemen masyarakat untuk mengadakan pendidikan di daerahnya
masing-masing tanpa harus terikat pada aturan-aturan yang ditetapkan
pada sekolah-sekolah formal. Selanjutnya, pemerintah juga mewadahi
lulusan-lulusan sekolah informal tersebut agar supaya mendapat gelar
akademik melalui ujian persamaan, seperti Ujian Paket A, B, dan C. Upaya
penyetaraan kelulusan tersebut, secara tidak langsung, berfungsi
sebagai standardisasi pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki oleh
siswa.
Letak
geografis Dusun Hansibong, yang terpencil dan terpisah dengan
dusun-dusun dan desa-desa lainnya, tidak hanya menyulitkan dalam akses
transportasi saja, tetapi juga akses pengetahuan dan informasi.
Keterbatasan informasi tersebut menyebabkan mereka tidak mengetahui
tindak lanjut dari proses pendidikan yang mereka lakukan. Mayoritas
anak-anak usia sekolah di dusun tersebut tidak melanjutkan ke jenjang
pendidikan yang lebih tinggi. Mereka tidak pernah mendapat informasi
dari pemerintah setempat maupun dari orang-orang sekitarnya tentang
ujian persamaan untuk Paket A, B, dan C.
Pelaksanaan
pendidikan merupakan tanggung jawab setiap orang sebagai anggota
masyarakat, namun penyediaan sarana pendidikan merupakan tanggung jawab
pemerintah, seperti yang termaktub dalam UUD 1945. Sudah sewajarnya jika
pemerintah pusat, melalui pemerintah daerah, menyediakan sarana
pendidikan secara fisik maupun non fisik. Penyediaan sarana pendidikan
secara non fisik dalam kasus ini adalah penyelenggaraan ujian Paket A,
B, dan C untuk seluruh elemen masyarakat, baik masyarakat yang tidak
mampu maupun masyarakat terpencil.
KESIMPULAN
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Dari Penelitian tentang Homeschooling sebagai Model Pendidikan Alternatif bagi Masyarakat Terpencil (Studi Analisis Penerapan Konsep Homeschooling pada Suku Lauje Dusun Hansibong Desa Bobalo Kecamatan Palasa Kabupaten Parigi Mautong Sulawesi Tengah) dapat disimpulkan beberapa poin penting sebagai berikut:
1. Pendidikan
merupakan hak setiap individu. Setiap orang berhak memilih model
pendidikan yang diinginkannya. Dalam kasus Dusun Hansibong, masyarakat
memilih model pendidikan sekolah rumah bagi anak-anak mereka. Hal ini
menjadi keniscayaan karena tidak adanya sarana pendidikan di daerah
tersebut. Penerapan sekolah rumah di Dusun Hansibong masuk dalam
kategori sekolah rumah tunggal yang diselenggrakan oleh masing-masing
keluarga yang berdomisili di daerah setempat.
2. Penerapan
sekolah rumah di Dusun Hansibong masuk dalam kategori sekolah rumah
tunggal. Materi-materi yang diajarkan mencakup pelajaran survival
(bertahan hidup di hutan), berkebun, mencari rotan, berburu berhitung,
membaca. Target dari pelaksanaan sekolah rumah tersebut adalah
memberikan ketrampilan hidup (life skill) untuk mempersiapkan
anak-anak mereka menjadi generasi penerus dalam menjalani kehidupan
nyata yang sesuai dengan kondisi dn kebutuhan daerah yang mereka
tempati. Sekolah rumah yang dilaksanakan di Dusun ini tidak bertujuan
untuk mendapatkan sertifikat atau Ujian Nasioanl Pendidikan Kesetaraan (UNPK) Paket A, B, dan C dari Pemerintah.
3. Faktor pendukung homeschooling
di Dusun Hansibong antara lain; semangat orangtua dan anak untuk
belajar yang tinggi, ketertarikan pada nuansa baru yang belum pernah
mereka saksikan, dan keberadaan setiap keluarga yang terbiasa
mengajarkan pengetahuan pada anak mereka. Sedangkan faktor utama yang
menjadi kendala homeschooling mencakup; keterbatasan sarana pendidikan dan transportasi di daerah tersebut. Khusus permasalahan homeschooling,
kendala yang dihadapi adalah; keterbatasan buku literatur, keterbatasan
alat tulis, pengetahuan orangtua selaku guru, media pembelajaran,
keterbatasan informasi, dan dukungan pemerintah yang masih sangat minim.
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
Arifin. Imron. 1996. Penelitian Kualitatif dalam Ilmu-ilmu Sosial dan Keagamaan. Editor. Malang: Kalimasahada
Biklen, S.K dan Bogdan, R.C. 1982. Qualitative Research for Education: An Introduction to Theory and Methods, Boston: Allyn and Bacon, Inc.
Brannen, Julia. 1997. Memadu Metode Penelitian Kualitatif & Kuantitatif. Terj, Nuktaf Arfawie Kurde, Imam Safe’I dan Noorhaidi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Direktorat Pendidikan Kesetaraan. 2006. Komunitas Sekolah Rumah sebagai Satuan Pendidikan Kesetaraan. Jakarta.
Departemen Pendidikan Nasional, 2006. Pendidikan Kesetaraan Mencerahkan Anak Bangsa, Direktorat Pendidikan Kesetaraan, Dirjen Pendidikan Luar Sekolah, Jakarta.
Eka, R. 2007. Kondisi Pemerataan Pendidikan di Indonesia, (http://edu-articles.com, diakses 9 Oktober 2011
http://pormadi.wordpress.com/2007/11/12/homeschooling/ diakses tanggal 14 Desember 2011.
http://www.voanews.com/indonesian/news/Jutaan-Anak-Indonesia-Belum-Tersentuh-Pendidikan-126587263.html, diakses tanggal 10 November 2011.
http://edukasi.kompas.com/read/2011/08/10/09312285/Mengenal.Metode-metode Homeschooling, diakses tanggl 12 Desember 2011.
Joesoef, Soeleiman. 1992. Konsep Dasar Pendidikan Luar Sekolah. Bumi Aksara. Jakarta
Lexy J. Moleong. 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remadja Karya
Linsenbach, Sherri. 2003. Everything Homeschooling Book. Adams Media Corporation, Massachusets.
Menteri Pendidikan Nasional, PERMEN No. 22 Tahun 2006, Standar Isi Pendidikan Nasional.
Mulyadi, Seto. 2007. Homeschooling Keluarga Kak Seto: Mudah, Murah, Meriah dan Direstui Pemerintah, Jakarta: PT. Mizan Pustaka.
Mulyana, Enceng. 2008. Model Tukar Belajar (Learning Exchange) dalam Perspektif Pendidikan Luar Sekolah (PLS), Bandung: Alfabeta.
Oni Suryaman, “Apa itu Homeschooling” dalam Error! Hyperlink reference not valid.diakses pada tanggal 17 Desember 2011.
Poerwadarminta, W.J.S. 1986. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.
Poerwandari, Kristi. 2005. Pendekatan Kualitatif untuk Penellitian Perilaku Manusia. Depok:
Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3)
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Kampus Baru UI.
Ransom, Marsha. 2001. The Complete Idiot’s Guide to Homeschooling, (USA: Alpha Publishing.
Ramli, Munas Prianto. 2008. Homeschooling:
Sebuah Upaya Pemerataan Akses Pendidikan bagi Generasi Putus Sekolah
dan dan Generasi di Wilayah Terpencil, Makalah, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah.
Salim, Agus. 2006. Teori & Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana
Nasution, S. 2006. Metode Research. Cetakan 8. Jakarta : Bumi Aksara.
Symon, Gillian & Catherine Cassell.1998. Qualitative Methods and Analysis in Organizational Research. A Practical Guide. New Delhi: Sage
Sumardiono, Homeschooling; Lompatan Cara Belajar, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2007),
Sukardi, 2004. Metodologi Penelitian Pendidikan; Kompetensi dan Praktiknya, Jakarta: Bumi Aksara.
Van Galden (ed). 1991. Homeschooling; Political, Historical and pedagogical Perspective, Ablex Publishing Corporation, New Jersey.
DIAMBIL DARI : http://stain-palu.ac.id/artikel/52-home-schooling-sebagai-model-pendidikan-alternatif-bagi-masyarakat-terpencil.html
Langganan:
Postingan (Atom)